Krisis Pengamalan Pancasila Akan Membuat Bangsa Ini Menjadi Rapuh



PWI-LS -Di sela sela kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perjuangan Walisongo Indonesia di Pesantren Nahdlatul Ulum, Kresek, Banten pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2024. Ketua Perjuangan Walisongo Indonesia Kota Surakarta, RT Sudrajat Dwijodipuro menyampaikan, pentingnya bangsa Indonesia kembali pada nilai nilai luhur Pancasila.

Sudrajat melihat, kondisi bangsa saat ini yang semakin jauh dari cita cita luhur para pendiri bangsa. Pancasila hanya di pakai sebagai slogan dan hiasan dinding semata, tidak di implementasikan secara nyata nilai sila di dalamya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

Banyak generasi muda dan elite mengutamakan kepentingan kelompok, sehingga potensi terjadinya perpecahan akan sangat besar jika para pemangku kekuasaan tidak segera menyadari hal tersebut.

Polarisasi Pilpres dan Pilkada tidak akan bisa hilang begitu saja, sebab perbedaan pandangan poltik saat ini lebih banyak di campuri narasi kebencian.

Jika kita tidak menyadari hal itu, maka kebencian demi kebencian akan menjadi duri bagi perjalanan bangsa ini di masa depan. Cita cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menajdi angan angan saja jika kita sebagai bangsa tidak bergendengan tangan bersama.

Kebebasan berekpresi atas nama demokrasi sudah tidak tidak berdasar pada nilai nilai Pancasila. Mereka lebih mengutamakan demokrasi liberal demi untuk memenuhi syahwat poltik dan kekuasaan.

Narasi kebencian di tanamkan oleh sekelompok elite akibat kalah dalam pertarungan politik. Hasutan dan kebencian marak beredar di media sosial, sehingga tanpa di sadari telah tercipta garis perpecahan di masyarakat.

Sejarah luhur peradaban Nusantara yang selama ini membentuk karakter dan jatidiri bangsa, serta  menjunjung tinggi etika, moral  dan tata kesopanan, di rusak dan di belokan oleh sekelompok orang dan golongan.

Pembelokan dan perusakan tersebut tidak hanya berdampak pada rusaknya Sejarah bangsa yang kian hari kian parah, namun juga membuat generasi muda lupa pada jatidirinya. Sehingga merubah segala perilaku mereka menjadi tidak beradab, tanpa etika dan budipekerti.  

Generasi muda tidak lagi bangga dengan jatidirinya. Tidak lagi mengenal sejarah para leluhur leluhurnya. Sehingga gampang terseret, di jadikan alat untuk kepentingan kelompok tertentu atas nama demokrasi dan agama.

Oleh sebab itu implementasi lima sila dalam Pancasila harus di bumikan kembali di tengah masyarakat. Agar dapat menjadi landasan perilaku berbangsa dan bernegara. Sejarah mencatat, Pancasila mampu menjadi garda dalam menangkal serangan ideologi komunis, liberal dan kilafah.

Para ulama, para pejuang dan raja raja Nusantara telah menyepakati Pancasila sebagai ideologi bangsa.  Karena suluruh sila yang ada didalam Pancasila mencerminkan harmonisasi hubungan vertical dan horizontal. Mencerminkan sikap perilaku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna jika bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan masing masing.

Implementasi Ketuhanan Yang Maha Esa tentu memiliki urgensi  yang sangat penting tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sila pertama menyadarkan manusia tentang pentingnya harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan Sang Maha PenciptaNya. Oleh karena itu dalam setiap perilaku kehidupan,  kita hendaklah selalu mengagungkan asma-Nya.

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah implementasi dari perilaku masyarakat dalam sebuah bangsa. Untuk menjadi manusia yang adil dan beradab,  kesetaraan hak dan kewajiban  harus berlandaskan adab dan etika. Sebab manusia yang merasa adil tanpa adab, maka sejatinya ia tidak akan pernah bisa mewujudkan keadilan tesrebut.

Oleh karena itu sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah landasan untuk membangun perilaku keadilan, menghargai satu sama lain, penuh kebijaksanaan tanpa dendam dan kebencian. Karena manusia yang berperilaku tanpa adab, ia hanya akan menjadi robot bagi hawa nafsunya sendiri.

Persatuan Indonesia adalah cermin perekat bangsa yang menyatukan keragaman dan perbedaan yang ada. Tidak menjadikan perbedaan sebagai kekukarangan, namun menjadikanya sebagai sebuah kekuatan. Ibarat panggung orkestra, jika perbedaan tersebut di kelola dengan baik maka akan tercipta harmonisasi keindahan.

Sedangkan sila ke empat dan kelima, Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila ke empat merupakan gambaran dasar politik negara yang di implementasikan sesuai dengan budaya bangsa yakni musyawarah untuk mufakat. Implementasi dari sila tersebut adalah mengutamakan kepentingan negara di atas pribadi, kelompok dan golongan.

Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah untuk mufakat dengan semangat kekeluargaan, gotong royong dan kebersamaan. Berjiwa besar dan menghargai pendapat orang lain, serta tidak memaksakan kehendak.

Sedangkan sila kelima di implementasikan melalui perbuatan luhur dan adil terhadap sesama. Selalu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam menghormati hak hak orang lain.  Berbuat baik suka tolong menolong, tidak merugikan orang lain dan kepentingan umum. Menghargai satu sama lain untuk mewujudkan kemajuan, pemerataan dan berkeadilan sosial. 

Nilai sila dalam Pancasila harus di implementasikan di masyarakat. Di bumikan kembali melalui dunia Pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Implementasi nilai Pancasila juga harus di bumikan di dalam lingkungan keluarga, untuk membangun ketahanan anggota keluarga terhadap ancaman modernisasi jaman dan arus informasi yang merusak.

Peningkatan spiritual dan emosional harus di lakukan, agar generasi muda bisa menyaring dan mensharing semua informasi melalui cipta, rasa dan karsa.

Ketua Perjuangan Walisongo Indonesia Kota Surakarta berharap, masyarakat memiliki kepedulian terhadap sejarah dan kearifan budaya, untuk menangkal segala bentuk penjajahan baik moral, keyakinan maupun penjajahan maindset yang mengatasnamakan intelektual.

  

 




 

 

Lebih baru Lebih lama